Sejarah Bahasa Indonesia
Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi Repiblik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya. Di Timor Leste bahasa
Indonesia adalah bahasa kerja (working language).
Dari
sudut pandang linguistika, bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu.
Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19, namun mengalami
perkembangan akibat penggunaannya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan di
awal abad ke-20. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup,
yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun
penyerapan dari bahasa daerah dan asing.
Pada
saat ini bahasa dipahami oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa Indonesia
tidak menduduki posisi sebagai bahasa ibu bagi mayoritas penduduknya. Sebagian
besar warga Indonesia berbahasa daerah sebagai bahasa ibu. Namun demikian,
bahasa Indonesia digunakan sangat luas diperguruan-perguruan, disurat kabar,
media elektronik, perangkat lunak, surat menyurat resmi, dan berbagai forum
public lainnya sehingga dapat dikatakan bahasa Indonesia digunakan oleh semua
warga Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap relative mudah, dasar-dasar yang
penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari dalam kurun waktu beberapa
minggu.
Kerajaan
Sriwijaya (dari abad ke-7 Masehi) memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu
Kuno) sebagai bahasa kenegaraan. Hal ini diketahui dari empat prasasti berusia
berdekatan yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan itu.
Pada saat itu bahasa Melayu yang digunakan bertaburan kata-kata pinjaman dari
bahasa Sanskerta. Sebagai penguasa perdagangan di kepulauan ini (Nusantara),
para pedagangnya membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa
Melayu, walaupun secara kurang sempurna. Hal ini melahirkan berbagai varian
lokal dan temporal, yang secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para
peneliti. Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka
tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10
menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau Jawa. Keping
Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila, Pulau Luzon, berangka tahun 900
Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Pada
abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi bahasa Melayu
karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu
Tinggi. Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar
Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Alfred Russel Wallace menuliskan di
Malay Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa
tersendiri yang bersumber dari cara berbicara yang paling elegan dari
negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah yang paling indah,
tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang
digunakan di seluruh Hindia Belanda." Selanjutnya, Jan Huyghen van
Linschoten, di dalam buku Itinerario ("Perjalanan") karyanya,
menuliskan bahwa "Malaka adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai
negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan mengembangkan bahasa mereka
sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala bahasa di sekitar
mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar yang
utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi
bahasa yang paling sopan dan paling pas di anatara bahasa-bahasa di Timor jauh.
Kongres Bahasa Indonesia pertama telah menetapkan bahwa bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Melayu Riau, begitu pula dengan negara serumpun lain
seperti Malaysia mengakui bahwa bahasa Melayu standar adalah bahasa Melayu
Riau-Johor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar